KONDISI
KEKUATAN PERSENJATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENDUKUNG OPERASI
TRIKORA 1961-1962
SKRIPSI
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh,
MOH.
SYARIF HIDAYAT
072171013
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SILIWANGI
TASIKMALAYA
2011
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Moh. Syarif Hidayat
NPM : 072171013
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Alamat :
Cipicung RT. 18 RW. 09 Desa Karangsari Kec. Padaherang
Kab.
Ciamis
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang
berjudul “KONDISI KEKUATAN PERSENJATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM
MENDUKUNG OPERASI TRIKORA 1961-1962” beserta seluruh isinya adalah
sepenuhnya karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap menanggung konsekuensi
atau sangsi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap
etika keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian skripsi ini.
Tasikmalaya,
Maret 2011
Yang
Membuat Pernyataan,
Moh.
Syarif Hidayat
NIM.072171013
KONDISI KEKUATAN PERSENJATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM
MENDUKUNG OPERASI TRIKORA 1961-1962
MOH.
SYARIF HIDAYAT
072171013
Disahkan
oleh:
Pembimbing I
Drs.
Alex Anis Ahmad, M.Pd
NIK. 411287065
|
Pembimbing II
Dodih
Heryadi, M.Pd
NIK. 411286044
|
Disetujui
oleh:
Dekan,
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Prof.
Dr. H. Yus Darusman, M.Si
NIP.
131409685
|
Ketua Program Studi
Drs.
Alex Anis Ahmad, M.Pd
NIK.
411287065
|
ABSTRAK
MOH. SYARIF HIDYAT (2011). “Kondisi
Kekuatan Persenjataan Tentara Nasional Indonesia Dalam Mendukung Operasi
Trikora 1961-1962”. Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Penulisan skripsi ini bertujuan
pertama untuk mengetahui bagaimana proses pengadaan Persenjataan TNI menjelang
operasi Trikora, kedua bagaimana kondisi kekuatan Persenjataan TNI dalam
mendukung Operasi Trikora, ketiga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode
sejarah dengan tahapan sebagai berikut : Heuristik, Kritik, Interpretasi dan
Historiografi. Data dikumpulkan dengan memakai system kartu. Data setelah
terkumpul dianalisis melalui kritik intern dan ekstern. Pengumpulan data
melalui studi kepustakaan. Teknik analisis data dengan pendekatan ilmu yang
berdimensi ruang dan waktu dimasa lalu.
Hasil penelitian menginformasikan
bahwa: Sejak Desember 1950 Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik yang
erat dengan pemerintah Uni Soviet dan mencapai puncaknya pada tahun 1960 yaitu
dengan disepakatinya beberapa perjanjian kerjasama dibidang ekonomi, sosial dan
militer. Pada tahun 1961 Balanda masih melakukan kolonialismenya di Irian
Barat, walaupun sudah melewati beberapa perundingan yang mengharuskan Belanda
untuk meninggalkan Irian Barat namun usaha tersebut selalu gagal. Pada tanggal
4 Maret 1961 di Jakarta dilangsungkan penandatanganan perjanjian pembelian
senjata dari Uni Soviet senilai 2,5 milyar dolar AS atas dasar kredit jangka
panjang. Pembelian senjata tersebut adalah pembelian yang terbesar yang pernah
dilakukan dengan luar negeri sampai saat itu. Tujuannya adalah mempersiapkan
potensi militer Indonesia dengan kekuatan yang diperhitungkan kemampuannya
untuk membebaskan Irian Barat dengan kekuatan bersenjata jika diperlukan.
Dengan pembelian persenjataan itulah kekuatan militer Indonesia menjelma
menjadi salah satu yang terkuat di dunia, bahkan terkuat di belahan bumi bagian
selatan.
i
|
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahi
robbil alamin, puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat, kenikmatan dan kesempatan kepada penulis dapat
menyusun skripsi ini dengan judul : “KONDISI
KEKUATAN PERSENJATAAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENDUKUNG OPERSI TRIKORA
1961-1962”. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat
dalam menempuh ujian Sidang Sarjana
Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun
2011.
Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, baik
dalam segi penulisan maupun materi yang diungkapkan, semua ini tidak terlepas
dari keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki penulis.
Pada
kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat :
1.
Bapak
Alex Anis Ahmad, Drs. M.Pd. selaku dosen pembimbing I dan merangkap sebagai
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, yang telah memberikan motivasi,
bimbingan, petunjuk dan arahan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
2.
Bapak
Dodih Heryadi, M.Pd selaku dosen
pembimbing II, yang juga telah memberikan motivasi, bimbingan, petunjuk dan
arahan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
ii
|
3.
Prof.
Dr. H. Yus Darusman, Drs. M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
4.
Staf
Dosen dan staf Administrasi Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
5.
Ayahanda
K.H. Muksinudin dan Ibunda Hj. Maryatun tercinta yang senantiasa memberikan
dorongan mengiringi semangat penulis
dengan do’a yang tulus serta memberikan bantuan moril maupun materil, semoga
Allah SWT menyayangi, mencintai, dan membalas budi baik beliau berdua.
6.
Emak
Darsih, Kakak-kakakku (Ir. Suhendro dan Siti Munawaroh, Mahmudin, S.Ag dan Siti
Muniroh, Endang Ruhiyat, S. Ag dan Siti Marhamah), keponakan-keponakanku (Neng
Rika, Sania Fadila, Nursabila, Anwar, Fahri, Irfan, Rida dan Hasna) yang telah memberikan motivasi, keceriaan serta
bantuan moril maupun materil, semoga Allah SWT membalasnya.
7.
Sahabat-sahabatku
di Cipicung dan rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi angkatan 2007 yang telah
memberikan motivasi kepada penulis.
Semoga segala amal dan kebaikan yang diberikan kepada penulis
mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata mudah-mudahan
skripsi ini dapat berguna bagi pembaca umumnya dan penulis khususnya, Amiin.
Tasikmalaya,
Mei 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR
PENGESAHAN
LEMBAR
PERSETUJUAN
ABSTRAK............................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… . v
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah........................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................. 3
C.
Definisi
Operasional.............................................................................. 4
D.
Tujuan
Penulisan.................................................................................... 4
E.
Kegunaan
Penulisan.............................................................................. 5
BAB
II LANDAS TEORETIS
A.
Kajian
Teoretis...................................................................................... 6
B.
Hasil
Penelitian yang Relevan.............................................................. 10
C.
Anggapan
Dasar................................................................................... 11
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A.
Metode
Penelitian................................................................................. 13
B.
Variable
Penelitian................................................................................ 15
C.
Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 15
D.
Instrumen
Penelitian............................................................................. 15
E.
Langkah-langkah
Penelitian.................................................................. 16
F.
Waktu
dan Tempat Penelitian............................................................... 17
BAB IV HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Definisi
Alutsista.................................................................................. 19
B.
Alasan
Pembelian Alutsista ke Uni Soviet........................................... 20
C.
Pengaruh
Pembelian Sejata ke Uni Soviet Terhadap politik Luar Negeri
Indonesia…………………………………………...………….……...28
D.
Kekuatan Alutsista Indonesia (TNI) Tahun 1960an
1.
Proses
Pembelian........................................................................... 30
2.
Proses
Pengoperasian..................................................................... 36
3.
Pengaruh
Kekuatan Alutsista TNI Terhadap Kesepakatan Perjanjian dengan Belanda 39
4.
Kolonialisme
Belanda di Irian Barat Berakhir............................... 41
BAB V SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Simpulan............................................................................................... 44
B.
Saran..................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....46
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT
HIDUP
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masa setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, bukan berarti Indonesia
terbebas dari segala macam persoalan kedaulatan, tetapi merupakan masa yang
sangat penting dalam pembuktian sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, yaitu
negara yang sudah mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara yang
mandiri, tidak berada dalam kekuasaan atau kontrol negara lain serta sebagai
negara yang mempunyai kekuasaan yang tidak mengakui adanya kekuasaan yang lebih
tinggi dari kekuasaannya sendiri.
Kekuasaan Belanda yang masih membelenggu di
tanah Indonesia pada tahun 1960an merupakan tantangan tersendiri bagi
pemerintahan yang masih muda ini, selain tantangan lain yang muncul baik dari
dalam maupun luar negeri. Hal ini tentunya dihadapi oleh pemerintah Indonesia
dengan berbagai macam upaya, baik dengan cara mengadakan
perundingan-perundingan maupun dengan cara perang fisik secara terbuka.
Salah satu dari tindakan
Belanda yang ingin mengganggu bahkan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia
secara penuh adalah ketidak konsistenan Belanda dalam menjalankan isi
perjanjian yang telah disepakati dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) yaitu
menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat tanpa sarat apapun, serta mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang berdaulat. (Notosutarjo, Dokumen
Konfrensi Meja Bundar, hal : 69)
Pelanggaran ini ditandai masih berkuasanya Belanda pada
tahun 1961 di tanah Irian Barat. Setelah melalui beberapa perundingan dan
pendekatan di PBB pada pihak Belanda untuk mencari penyelesaian masalah Irian
Barat selalu menemui jalan buntu, maka diputuskanlah untuk menempuh jalan
militer. (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1972 : 468) Pemerintah Indonesia
melalui Presiden Sukarno menyerukan operasi militer pembebasan Irian Barat yang
dikenal dengan sebutan Operasi Trikora, yaitu operasi militer dan merupakan ekspedisi gabungan militer yang
terbesar dalam sejarah Republik Indonesia untuk merebut Irian Barat dari
cengkraman penjajah Belanda.
Dalam rangka dilakukannya operasi tersebut, sebelumnya
pemerintah Indonesia telah mempersiapkan diri dengan membeli Alat Utama Sistem
Persenjataan (ALUTSISTA) atau peralatan perang yang paling mutakhir dari Uni
Soviet untuk digunakan oleh pasukan TNI yang tergabung dalam Komando Mandala,
sehingga militer Indonesia setelah pembelian Alat Utama Sistem Persenjataan
(ALUTSISTA) ini menjelma menjadi yang terkuat di belahan bumi bagian selatan. (Carmelia
Sukmawati, 2000 : 67) Salah satunya adalah TNI Angkatan Udara yang memiliki armada 26 pembom jarak jauh
strategis Tu-16 Tupolev (Badger A dan B). Ini membuat Indonesia menjadi
salahsatu dari empat negara di dunia yang mempunyai pembom strategis, yaitu
Amerika, Rusia, dan Inggris.
Seperti kita
ketahui, bahwa Indonesia telah mengalami beberapa pertempuran dalam merebut
serta mempertahankan kemerdekaan. Namun pertempuran-pertempuran tersebut
dijalankan dengan peralatan perang yang kekuatannya jauh tidak seimbang dengan
kekuatan musuh. Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI sebelum itu
hanya mengandalkan persenjataan bekas perang kemerdekaan yang sebagian besar
hasil rampasan perang dari Jepang maupun Belanda.
Berdasarkan uraian
di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang kekuatan yang
dikerahkan oleh TNI dari segi Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) dalam
rangka melakukan perlawanan terhadap kekuatan pasukan Belanda yang ada di Irian
Barat melalui operasi Trikora.
B.
Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini,
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kondisi kekuatan Alat Utama Sistem Persenjataan (ALUTSISTA) TNI sebelum Operasi
Trikora?
2.
Bagaimana
proses pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (ALUTSISTA) TNI menjelang
operasi Trikora?
C.
Definisi Operasional
Agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam mendefinisikan tulisan ini, perlu kiranya dibuat suatu
penjelasan istilah yang terkandung dalam judul skripsi ini sebagai berikut:
Kondisi merupakan
suasana, keadaan atau situasi yang sedang berlaku. Bisa juga sebagai kata sifat
perihal suatu benda. Alat Utama Sistem Persenjataan adalah istilah untuk
menyebutkan peralatan perang. Trikora
adalah singkatan dari Tri Komando Rakyat yang oleh Presiden Soekarno dijadikan
nama operasi militer dalam rangka pembebasan Irian Barat dari cengkraman
Belanda.
D.
Tujuan Penulisan
Tujuan dapat
diartikan suatu aktivitas yang berusaha mencapai sasaran yang diinginkan.
Adapun tujuan yang
ingin dicapai dalam tulisan ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui bagaimana kondisi kekuatan Alat Utama Sistem Persenjataan
(ALUTSISTA) TNI dalam mendukung Operasi Trikora.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana proses pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan
(ALUTSISTA) TNI pada masa operasi Trikora?
E.
Kegunaan Penulisan
Melalui tulisan
ini , diharapkan para pembaca terutama para pelajar dan mahasiswa dapat
mengetahui dengan pasti alat persenjataan yang digunakan TNI pada waktu perang pembebasan Irian Barat
melawan tentara Belanda yang kemudian dikenal dengan peristiwa Operasi Trikora.
Pada pertempuran
itu, dengan persenjataan yang dimiliki oleh TNI seperti yang dijelaskan dalam
tulisan ini, TNI mendapat kemenangan yang penuh arti dengan mengusir tentara
Belanda. Kisah ini tentu menjadi sebuah pembelajaran bagi pembaca, khususnya
bagi penulis.
BAB II
LANDASAN
TEORETIS
A.
Kajian Teoretis
Bahwa satu-satunya
hak milik Nasional Republik yang masih utuh tidak berubah-ubah meskipun harus
mengalami segala macam soal dan perubahan, hanyalah Angkatan Perang Republik
Indonesia / TNI. (Surat Panglima Besar Jendral Sudirman kepada Presiden
Soekarno, 1 Agustus 1949)
Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa
setiap negara dapat bertahan apabila memiliki angkatan perang yang kuat.
Apabila angkatan perang suatu negara kuat maka akan berimbas terhadap seluruh
sektor kehidupan yang ada di negara tersebut, sehingga keamanan dan kemakmuran
akan dapat terjaga.
Untuk mewujudkan angkatan perang
yang kuat, tentunya harus didukung oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
peralatan perang yang sesuai dengan kemajuan zaman. Peralatan perang ini di
Tentara Nasional Indonesia (TNI) ada dua kategori yaitu disebut dengan istilah
Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) dan non Alutsista. Alutsista dapat
diartikan semua peralatan militer yang berhubungan dengan teknologi persenjataan,
baik yang digunakan secara individu maupun kelompok, contoh kapal perang,
senapan, pesawat tempur, tank dll. Peralatan perang yang termasuk kategori non
Alutsista adalah peralatan perang selain teknologi senjata, contoh seragam
militer,sepatu, baret, dll.
Berdasarkan data dan fakta sejarah, hubungan Indonesia dengan Uni
Soviet dimulai sejak 25 Januari 1950, ketika Uni Soviet mengakui kemerdekaan
Indonesia dan menginginkan hubungan bilateral antara kedua Negara. Antara tahun
1950-1965 Indonesia menjalin hubungan sangat erat dengan Uni Soviet. Sebagai
negara yang baru terbentuk, Indonesia membutuhkan dukungan dari masyarakat
dunia dan Uni Soviet berhasil menempatkan diri sebagai sahabat dekat Indonesia.
Pada tahun 1960 Belanda masih berkuasa di Irian Barat, berbagai
pendekatan Indonesia di PBB pada pihak Belanda untuk menyelesaikan masalah
Irian Barat akhirnya menemui jalan buntu, pada tanggal 17 Agustus 1960 hubungan
diplomatik dengan Belanda diputuskan, maka diambillah keputusan oleh Presiden
Soekarno untuk menempuh jalan militer. (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1972 :
468)
Pemerintah Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar
negeri, karena kalau mengandalkan peralatan tempur peninggalan perang
kemerdekaan tidak akan mampu menghadapi
kekuatan Belanda yang pada saat itu sudah diperkuat dengan kapal induk salah
satunya yaitu kapal induk Karel Dorman. (Sejarah Nasional Indonesia VI, 1993
:114)
Kedatangan kapal induk Karel Doorman dan pengembangan kekuatan
Belanda di Irian Barat jadi kenyataan di tahun 1960 sebagai berikut : Satu
brigade infanteri berasal dari resimen infanteri “oranje” Gelderland dengan 3
batalyon; satu detasemen penangkis serangan udara kurang lebih 500 orang;
brigade Papua yang diperkirakan pada akhir tahun 1960 akan terbentuk satu
batalyon. AL Belanda (KM) terdiri dari: 1perusak, 3 kapal perang lebih kecil
(kawal perusak), 10 LST, 2 kapal survey; Corps Marinirs (CM) 1 brigade terdiri
dari 3 batalyon; Marine Luchvart Dienst (MLD) 1 skwadron pesawat penempur baru
firefly, 1 flight dari 3 pesawat Catalina (Ampibi). ½ skwadron pesawat intai
maritime mariner, 1 unit dari 12 pesawat pembom anti kapal selam Neptune, yang
akan ditambah 6 buah lagi. AU Belanda (ML): 1 skwadron pesawat buru sergap
Hawker Hunter MK VI dengan 6 pesawat yang sudah siap tugas operasi, 1 flight
pesawat helicopter intai dan ½ skwadron pesawat angkut Dakota, dan Kepolisian
Belanda, Algemeene Politie, jumlah kekuatan diperkirakan 1.700 orang, Mobile
Politie dibentuk dalam regu-regu dengan susunan infanteri, jumlah ini terus
ditingkatkan dengan adanya infiltrasi kita. ( A.H. Nasution, 1989 : 75)
Untuk menghadapi kekuatan Belanda tersebut, Indonesia mencoba
meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya pada bulan Desember
1960, Jendral A. H. Nasution sebagai
menteri Pertahanan pada saat itu pergi ke Moskow, Uni Soviet, untuk meminta
bantuan persenjataan militer, dan akhirnya pada tanggal 4 Maret 1961 di Jakarta
dilangsungkan penandatanganan perjanjian pembelian persenjataan antara delegasi
dari Uni Soviet dengan perwakilan dari pemeritah Indonesia yang diwakili oleh
Jendral A. H. Nasution senilai 2,5 Milyar dolar AS atas dasar kredit jangka panjang. Pembelian
senjata tersebut adalah pembelian terbesar yang pernah dilakukan dengan luar
negeri sampai saat itu. Setelah pembelian tersebut, TNI mengklaim bahwa
Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan. (Carmelia
Sukmawati, 2000 : 67)
Adapun peta kekuatan alutsista TNI setelah pembelian peralatan
tersebut adalah 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6
(angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10
pesawat buru sergap MiG-19, pesawat pemburu supersonic MiG-21, 12 Kapal selam
kelas Whiskey, puluhan kapal perang Korvet, 1 buah Kapal penjelajah KRI Irian
kelas Sverdlov, 22 pesawat pembom ringan Ilyushin II-28, 14 pesawat pembom
jarak jauh TU-16, 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi rudal anti
kapal, 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan Aqvia-14, 6 pesawat angkut
berat jenis Antonov An-12B, 3 satuan pertahanan udara dengan roket dan radarnya
dan 10 pesawat angkut berat C-130 Herkules buatan Amerika Serikat. ( A.H.
Nasution, 1989 : 57)
Tujuan dari pembelian peralatan militer ini adalah untuk menekan
Belanda secara terus menerus, agar bersedia menyerahkan kembali wilayah Irian
Barat kepada Indonesia secara damai. Penyusunan kekuatan militer ini juga dimaksudkan
untuk mempersiapkan potensi militer Indonesia dengan kekuatan yang
diperhitungkan kemampuannya untuk membebaskan Irian Barat dengan kekuatan
bersenjata jika diperlukan.
B.
Hasil Penelitian Yang Relevan
Seperti yang telah
diuraikan di atas, bahwa upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam
menyelesaikan permasalahan Irian Barat telah dilakukan secara sistematis
termasuk tentang persiapan pengerahan kekuatan bersenjata yang diawali dengan
pembelian Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) paling canggih saat itu
secara besar-besaran kepada Uni Soviet untuk melengkapi persenjataan TNI, yang
dalam pelaksanaanya nanti digunakan dalam sebuah operasi pembebasan Irian Barat
atau Oparasi Trikora.
Menurut
Ibu A. Yani dalam buku AHMAD YANI: Sebuah Kenang-kenangan halaman 201, Tahun 1959 Mayjen A. Yani
mendapat tugas membeli senjata yang dikenal dengan “Misi Yani”. Tidak kurang
dari 4 bulan lamanya Pak Yani di luar negeri mengunjungi berbagai Negara di Eropa
dan Amerika, dan hasil misi itu sangat memuaskan. Dengan Amerika serikat misi
mengadakan perjanjian membeli senjata ringan. Dengan Inggris dan jerman Barat
mesiu dan truk. Di Perancis Tank. Di Yugoslavia obat-obatan mesiu, di Swedia
senjata berat, di Denmark senjata ringan, di Cekoslovakia truk, di Italia dan
Pakistan mesiu.
Selain itu,menurut buku Sejarah
Nasional Indonesia jilid VI halaman 114,
pada bulan Desember 1960 Jenderal A.H. Nasution sebagai menteri pertahanan
pergi ke Moskow untuk meminta bantuan peralatan perang, dan Indonesia
mendapatkan bantuan jangka panjang berjumlah 2,5 milyar dolar Amerika dari Uni
Soviet, maka sejak saat itu TNI mulai memperkuat pembangunan pertahanan udara,
pertahanan maritim, serta pembentukan kekuatan ofensif (menyerang) terutama di
laut dan udara.
Salim Said dalam bukunya halaman 175, Pada
saat akan berlangsungnya konfrontasi militer dengan Belanda, jumlah kapal
perang yang dimiliki ALRI kira-kira 250 buah atau jika dihitung dalam tonase
sekitar 350.000 ton dengan personalia berjumlah sekitar 40.000 orang. Antara 80
- 90 persen dari seluruh perlengkapan ALRI didatangkan dari Uni Soviet. Dengan
dimilikinya “Komando Flotila” yaitu kapal-kapal berpeluru kendali kapal ke
kapal oleh ALRI, Indonesia merupakan
negara pertama yang memiliki kapal-kapal perang berpeluru kendali dan menjadi
salah satu dari tiga negara di Asia disamping Jepang dan RRT yang memiliki
kapal-kapal selam berkekuatan perusak yang sangat dahsyat. Indonesia saat itu
memiliki sekitar 20 kapal selam dan kapal penjelajah raksasa RI “Irian” yang
mempunyai 1050 anak buah kapal serta berbagai persenjataan modern.
C.
Anggapan Dasar
Anggapan dasar
merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang berfungsi
sebagai hal-hal berpijak bagi penelitian selanjutnya. (Suharsimi Arikunto,
1998: 19)
Berdasarkan dari
pernyataan di atas, maka pada tulisan ini penulis mengemukakan anggapan dasar
sebagai berikut:
1.
Masalah
Irian Barat merupakan permasalahan yang sangat rumit dalam penyelesaiannya bagi
Indonesia, pengambilan keputusan untuk menyelesaikan dengan operasi militer
merupakan hal yang dipersiapkan sebagai jalan terakhir, keputusan tersebut
mengharuskan Indonesia memiliki kekuatan militer yang kuat, sehingga pembelian
peralatan militer secara besar-besaran pun menjadi keputusan yang wajib
dilakukan.
2.
Kekuatan
Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI yang diterjunkan dalam operasi
Trikora, dapat memberikan efek penggentar bagi Belanda, terutama dengan
pembelian secara besar-besaran persenjataan yang paling mutakhir dari Uni
Soviet.
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A.
Metode Penelitian
Pemecahan masalah pada suatu penelitian harus sesuai dengan tujuan
serta sifat masalah yang akan diselidiki. Seperti yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat. Menurut pendapatnya metode dalam arti kata cara atau jalan.
Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk
dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, dalam
hubungan ini perlu dicatat bahwa suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan
kesesuaian dengan objek studi, yaitu mencocokan objek studi dengan metode yang
asal saja. (Koentjaraningrat, 1977: 16)
Dalam tulisan ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan
suatu metode penelitian historis. Metode historis adalah proses untuk membuat
rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara
mengupulkan, mengevaluasi, memverifikasi dan mensintesiskan bukti-bukti untuk
menegakan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. (Dirjen Dikti, 1983: 8)
Menurut Ismaun (1984 :
94) Metode historis ini terdiri dari empat langkah penting atau teknik sebagai
berikut:
1.
Heuristik
Tahap ini merupakan langkah awal bagi penulis dalam proses mencari
dan mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian skripsi ini.
2.
Kritik
Kritik sejarah adalah penilaian secara kritis terhadap data dan
fakta sejarah yang ada. Data dan fakta sejarah yang telah diproses melalui
kritik sejarah ini disebut bukti sejarah. Bukti sejarah adalah kumpulan
fakta-fakta dan informasi yang sudah
divalidasi, yang dipandang terpercaya sebagai dasar yang baik untuk menguji dan
menginterpretasi suatu permasalahan.
3.
Interpretasi
Pada tahapan ini, penulis melakukan interpretasi (penafsiran) dan
analisis terhadap data dan fakta yang terkumpul. Prosedur ini dilakukan dengan
mencari data dan fakta serta membuat tafsirannya.
4.
Historiografi
Setelah seluruh tahapan dalam metode sejarah telah dilakukan, yaitu
pengumpulan data, kritik data dan interpretasi maka sebagai tahap terakhir
adalah Historiografi atau penulisan sejarah.
B.
Variabel Penelitian
“ Variabel penelitian adalah
objek penelitian atau apa yang menjadi perhatian suatu penelitian”. (Arikunto, Suharsimi, 1998
: 111)
Kondisi kekuatan Alat Utama Sistem persenjataan (ALUTSISTA) TNI
merupakan variable pada topik masalah dalam tulisan ini akan membuat sebuah
gambaran bagaimana TNI melakukan Operasi Trikora. Dukungan peralatan perang
yang paling mutakhir pada saat itu, merupakan
salah satu faktor utama
keberhasilan Operasi Trikora atau Operasi Pembebasan Irian Barat.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam laporan penelitian ini dilakukan melelui studi literaturatau kajian
pustaka. Penulis mengumpulkan sumber berupa buku, Koran dan situs yang
berkaitan dengan masalah penelitian, kemudian membaca, menyeleksi, menelaah dan
mengolahnyauntuk dituangkan ke dalam bentuk laporan penelitian.
D.
Instrumen Penelitian
Arikunto, Suharsimi, (2006: 160) ” Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah
dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga lebih mudah diolah”. Instrumen digunakan untuk memperoleh data yang
digunakan untuk menjawab penelitian.
Instrumen penelitian dalam tulisan ini, penulis menggunakan dengan
apa yang disebut “sistem kartu”. Sistem kartu ini sudah lazim digunakan pada
penelitian yang dalam pengumpulan datanya menggunakan teknik studi
perpustakaan. Contoh sistem kartu ini sebagai berikut:
15 cm
Kode
Buku
Subjek
Catatan
|
10 cm
|
Kode Buku untuk menyimpan kode buku yang dipakai, untuk
buku sejarah kodenya 900. Subjek isinya
tentang identitas pengarang, judul karangan, penerbit, tempat penerbit dan
tahun terbit.Catatan berguna untuk menyimpan kutipan yang diambil dari buku
sumber yang dipakai.
E.
Langkah-Langkah Penelitian
Langkah-langkah
yang ditempuh penulis dalam melakukan penelitian ini mulai dari memilih masalah
sampai dengan langkah terakhir yaitu penyusunan laporan sebagai berikut:
1.
Tahap
Persiapan
a.
Mengajukan
judul atau permasalahan yang akan diteliti kepada Dewan Bimbingan Skripsi.
b.
Membuat
proposal penelitian.
c.
Mengajukan
permohonan pelaksanaan seminar proposal kepada Dewan Bimbingan Skripsi.
d.
Konsultasi
dengan pembimbing I dan II untuk memperbaiki proposal penelitian.
2.
Tahap
Pelaksanaan
a.
Observasi/
studi pendahuluan.
b.
Melaksanakan
penelitian.
c.
Mengumpulkan
data.
3.
Tahap
Pengolahan Data
a.
Analisis
data.
b.
Penarikan
kesimpulan.
c.
Menyusun
laporan.
F.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini
penulis lakukan mulai bulan Desember 2010 sampai dengan bulan April 2010.
Tempat penelitian penulis lakukan di perpustakaan Universitas Siliwangi. Untuk
memperjelas waktu penelitian ini, penulis membuat tabel kerja sebagai berikut:
TABEL KERJA PENYUSUNAN SKRIPSI
No
|
Proses
|
Bulan
|
|||||
Nov
|
Des
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
||
A
|
Pra Penelitian
|
||||||
1.
Pengajuan
judul
|
|||||||
2.
Pembuatan
Proposal
|
|||||||
3.
Seminar
Proposal
|
|||||||
B
|
Bimbingan Skripsi
|
||||||
1.
Bimbingan
judul dan bab I
|
|||||||
2.
Bimbingan
bab II
|
|||||||
3.
Bimbingan
bab III
|
|||||||
4.
Bimbingan
bab IV
|
|||||||
5.
Bimbingan
bab V, editing
|
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Alutsista
Bahwa satu-satunya hak milik Nasional Republik yang masih utuh
tidak berubah-ubah meskipun harus mengalami segala macam soal dan perubahan,
hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia / TNI. (Surat Panglima Besar
Jendral Sudirman kepada Presiden Soekarno, 1 Agustus 1949)
Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa
setiap negara dapat bertahan apabila memiliki angkatan perang yang kuat.
Apabila angkatan perang suatu negara kuat maka akan berimbas terhadap seluruh
sektor kehidupan yang ada di negara tersebut, sehingga kemanan dan kemakmuran
akan dapat terjaga.
Untuk mewujudkan angkatan
perang yang kuat, tentunya harus didukung oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah peralatan perang yang sesuai dengan kemajuan zaman. Peralatan perang ini
di Tentara Nasional Indonesia (TNI) ada dua kategori yaitu disebut dengan
istilah Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) dan non Alutsista. Alutsista
dapat diartikan semua peralatan militer yang berhubungan dengan teknologi
persenjataan, baik yang digunakan secara individu maupun kelompok, contoh kapal
perang, senapan, pesawat tempur, tank dll. Peralatan perang yang termasuk
kategori non Alutsista adalah peralatan perang selain teknologi senjata, contoh
seragam militer,sepatu, baret, dll.\
B. Alasan Pembelian Alutsista Indonesia
Ke Uni Soviet
Peristiwa operasi Pembebasan Irian Barat tahun 1961 bertepatan
dengan suasana dunia dalam perang dingin, yaitu sebutan bagi situasi tegang dan
konflik antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur
yang dipimpin oleh Uni Soviet yang terjadi pada periode 1947 sampai 1991. Kedua
negara adikuasa yang berbeda idiologi itu bersitegang dan berkompetisi secara
politik dan militer. Masing-masing adikuasa menggalang dukungan dari
negara-negara lain, Amerika Serikat dengan Blok Baratnya beranggotakan negara-negara Eropa Barat,
sedangkan Uni Soviet dengan Blok Timurnya beranggotakan negara-negara Eropa
Timur dan negara komunis lainnya seperti Cina dan Kuba.
Bagaimana dengan Indonesia? Pada era perang dingin, Indonesia
mempunyai kebijakan politik luar negeri yang” bebas aktif”, artinya Indonesia
tidak memihak blok manapun dan aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia bersama
negara-negara lain seperti Mesir,Yugoslavia, dll.
Walaupun Indonesia menganut kebijakan politik luar negeri yang
bebas aktif, namun ketika terjadi penjajahan, Indonesia mau-tidak mau
harus mencari bantuan dari salah satu negara adikuasa tadi untuk
memenuhi kebutuhan dalam rangka mengusir penjajahan, hal ini terjadi ketika
Balanda masih melakukan kolonialismenya di bumi Irian Barat dan Indonesia
menghendaki Belanda segera menyarahkan Irian Barat sesuai perjanjian Konfrensi
Meja Bundar (KMB).
Indonesia hanya akan berunding dengan formal atas dasar penyerahan
kedaulatan serta pemerintahan atas Irian Barat kepada Indonesia. Mengenai ini
pihak Belanda masih memperlihatkan sikap perlawanan yang keras. (Salim Said,
2006 : 132)
“Dengan terpaksa Indonesia menempuh jalan kekerasan untuk
membebaskan bagian tanah tumpah darahnya, karena cara-cara damai selama ini
tidak mendapat pengertian yang sepatutnya dari pihak Belanda. Bangsa Indonesia
adalah cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan”. (Ibu A. Yani, 1981 : 204)
Setiap bangsa,
betapa pun terbelakangnya, mempunyai hak untuk merdeka. Kolonialisme merupakan
sumber konflik dan bahkan perang antar bangsa, oleh sebab itu harus dilakukan
usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegahnya. Sumber konflik antara Indonesia
dan Belanda yang berlarut-larut terletak pada masalah kolonialisme Irian
Barat yang merupakan tuntutan bagi
Indonesia, dan sebaliknya tuntutan pula bagi Belanda untuk melanjutkan
penjajahannya. Konflik ini akan tak berhenti sampai Irian Barat diserahkan
kepada Indonesia. (Delliar Noer, 1990 : 580)
Perang
adalah domain negara, menilik arti perang yaitu “sebagai salah satu resolusi konflik
dengan menggunakan kekuatan bersenjata dan merupakan upaya terakhir yang
diputuskan negara manakala upaya politis dengan cara-cara damai tidak dapat
menyelesaikan konflik”. (JS. Prabowo, 2009 : 1)
Mengingat peran negara dalam penyelesaian
suatu konflik bersenjata antar negara begitu dominan, maka tuntutan
tanggungjawab negara untuk memenangkan perang, selain tuntutan terhadap semua
potensi nasional guna menjalankan kewajibannya untuk membela negara, maka
negara harus dapat menjamin kesiapan negara untuk menang dalam suatu perang, di
antaranya adalah jaminan dari kesiapan alutsista. (JS. Prabowo, 2009 : 1)
Sesuai dengan kutipan di atas, setelah gagal menyelesaikan masalah
Irian Barat dengan jalan perundingan dan diplomasi, Pemerintah Indonesia mulai mencari
batuan senjata dari luar negeri dalam rangka mempersiapkan diri jika
sewaktu-waktu dilakukan operasi militer dalam penyelasaian masalah Irian Barat,
karena kalau mengandalkan peralatan tempur peninggalan perang kemerdekaan tidak akan mampu menghadapi kekuatan Belanda
yang pada saat itu sudah diperkuat dengan peralatan perang modern.
Kedatangan
kapal induk Karel Doorman dan pengembangan kekuatan Belanda di Irian Barat jadi
kenyataan di tahun 1960 sebagai berikut : Satu brigade infanteri berasal dari
resimen infanteri “oranje” Gelderland dengan 3 batalyon; satu detasemen
penangkis serangan udara kurang lebih 500 orang; brigade Papua yang
diperkirakan pada akhir tahun 1960 akan terbentuk satu batalyon. AL Belanda
(KM) terdiri dari: 1perusak, 3 kapal perang lebih kecil (kawal perusak), 10
LST, 2 kapal survey; Corps Marinirs (CM) 1 brigade terdiri dari 3 batalyon;
Marine Luchvart Dienst (MLD) 1 skwadron pesawat penempur baru firefly, 1 flight
dari 3 pesawat Catalina (Ampibi). ½ skwadron pesawat intai maritime mariner, 1
unit dari 12 pesawat pembom anti kapal selam Neptune, yang akan ditambah 6 buah
lagi. AU Belanda (ML): 1 skwadron pesawat buru sergap Hawker Hunter MK VI
dengan 6 pesawat yang sudah siap tugas operasi, 1 flight pesawat helicopter
intai dan ½ skwadron pesawat angkut Dakota, dan Kepolisian Belanda, Algemeene
Politie, jumlah kekuatan diperkirakan 1.700 orang, Mobile Politie dibentuk
dalam regu-regu dengan susunan infanteri, jumlah ini terus ditingkatkan dengan
adanya infiltrasi kita. (A.H. Nasution, 1989 : 75)
Kelancaran pengambilan keputusan ini karena pada saat itu Indonesia
menerapkan sistem demokrasi terpimpin yaitu demokrasi yang mendasarkan sistem
pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan
sentral di tangan satu orang, (Inu Kencana Safi’i, Azhari, 2005 : 42) sehingga
seluruh keputusan berada ditangan Presiden Soekarno yang pada waktu itu sebagai
panglima tertinggi angkatan perang, memang menjadi kekuatan sentral dalam
menggerakan semangat pembebasan Irian Barat.
Langkah persiapan yang diambil pemerintah Indonesia ini bisa
disesuaikan dengan salah satu semboyan perdamaian yang popular pada saat Perang
Dunia ke I yaitu “Si vis pacem, para bellum!” (Siapa yang ingin damai,
harus siap untuk berperang), atau semboyan yang diopulerkan oleh Woodrow Wilson
yaitu “Paece without victory”. (Soebantardjo, 1960 : 170) Adapun
negara yang menjadi acuan pemerintah Indonesia dalam melengkapi peralatan
perangnya adalah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Negara lain yang sudah
terbukti menguasai teknologi persenjataan modern.
Tahun 1959
Mayjen A. Yani mendapat tugas membeli senjata yang dikenal dengan “Misi Yani”.
Tidak kurang dari 4 bulan lamanya Pak Yani di luar negeri mengunjungi berbagai
Negara di Eropa dan Amerika, dan hasil misi itu sangat memuaskan. Dengan
Amerika serikat misi mengadakan perjanjian membeli senjata ringan. Dengan
Inggris dan jerman Barat mesiu dan truk. Di Perancis Tank. Di Yugoslavia
obat-obatan mesiu, di Swedia senjata berat, di Denmark senjata ringan, di
Cekoslovakia truk, di Italia dan Pakistan mesiu. (Ibu A. Yani, 1981 : 201)
Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat kembali,
namun pengadaan lebih lanjut “kuda-perang” bagi satuan kavaleri (kendaraan
tempur) mengalami ganjalan dari negara-negara Blok Barat (NATO dan Amerika
Serikat), pasalnya yang akan dihadapi adalah anggota mereka yaitu Belanda
padahal sebelumnya ketika Presiden soekarno berkunjung ke Amerika Serikat pada
tahun 1958, Amerika mengijinkan
Indonesia membeli 10 pesawat C-130 Hercules, sekaligus menjadikan Indonesia
sebagai negara pertama di luar Amerika yang mempergunakan pesawat angkut
raksasa yang termodern pada waktu itu.
Kesulitan Indonesia kian bertambah ketika Komando Dwikora yang
menentang proses dekolonisasi jajahan Inggris di Semenanjung Malaysia dan
Kalimantan Utara dikumandangkan, sehingga memancing reaksi keras dari
negara-negara Barat. Oleh karena itulah maka Indonesia mulai “melirik”
negara-negara Blok Timur, seperti Pakta Warsawa dan Uni Soviet.
Akhirnya pada bulan Desember 1960, Jendral
A. H. Nasution sebagai menteri
Pertahanan pada saat itu pergi ke Moskow, Uni Soviet, untuk meminta bantuan
persenjataan militer, dan akhirnya pada tanggal 4 Maret 1961 di Jakarta dilangsungkan
penandatanganan perjanjian pembelian persenjataan antara delegasi dari Uni
Soviet dengan perwakilan dari pemeritah Indonesia yang diwakili oleh Jendral A.
H. Nasution senilai 2,5 Milyar dolar AS
atas dasar kredit jangka panjang. Pembelian senjata tersebut adalah
pembelian terbesar yang pernah dilakukan dengan luar negeri sampai saat itu.
(Carmelia Sukmawati, 2000 : 67)
Tujuan
dari pembelian peralatan militer ini adalah untuk menekan Belanda secara terus
menerus, agar bersedia menyerahkan kembali wilayah Irian Barat kepada Indonesia
secara damai. Penyusunan kekuatan militer ini juga dimaksudkan untuk
mempersiapkan potensi militer Indonesia dengan kekuatan yang diperhitungkan
kemampuannya untuk membebaskan Irian Barat dengan kekuatan bersenjata jika
diperlukan. Indonesia juga mendekati negara-negara seperti India, Pakistan,
Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman, dan Perancis agar
mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia
dengan Belanda. (Salim said, 2006 : 113)
Setelah pembelian persenjataan tersebut, sikap anti-kolonialisme
dan anti-imperialisme yang ditetapkan sebagai bagian integral pertahanan negara
harus dioperasionalkan dalam suatu strategi militer. Pada tanggal 19 Desember
1961 Presiden Soekarno menggelorakan komando militer untuk menyelasaikan
masalah Irian Barat yang dikenal dengan Komando Mandala (Operasi TRIKORA) dalam
sebuah rapat raksasa di Yogyakarta . Adapun isi pidatonya sebagai berikut:
TRIKORA
Kami
Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam
rangka politik konfrontasi dengan pihak Belanda untuk membebaskan Irian Barat
telah memberikan instruksi kepada Angkatan Bersenjata untuk pada setiap waktu
yang kami akan tetapkan menjalankan tugas kewajiban membebaskan Irian Barat
Tanah Air Indonesia dari belenggu kolonialisme Belanda.
Dan
kini , oleh karena Belanda masih tetap melanjutkan ditanah air kita Irian
Barat, dengan memecah belah Bangsa dan Tanah Air Indonesia, maka kami
perintahkan kepada rakyat Indonesia, juga berada di daerah Irian Barat, untuk
menjalankan Tri Komando sebagai berikut:
1.
Gagalkan
pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda
Kolonial.
2.
Kibarkanlah
Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
3.
Bersiaplah
untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan
Tanah Air dan bangsa.
Semoga tuhan Yang Maha Esa
memberkati perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Yogyakarta, 19 Desember 1961
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembabasan Irian
Barat
SOEKARNO
(Ibu A. Yani, 1981 : 208)
Pidato
tersebut intinya berisi tentang : pertama, menggagalkan rencana Belanda
untuk mendirikan sebuah Negara boneka Papua; kedua, mengibarkan bendera
Merah-Putih di Irian Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia yang sah; dan ketiga,
mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia untuk berjuang
sampai titik darah yang penghabisan. (Carmelia Sukmawati, 2000: 89)
Sesuai dengan perkembangan situasi, Trikora diperjelas dengan
instruksi Panglima Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada
panglima Mandala Yang isinya:
1. Merencanakan, mempersiapkan dan menyelanggarakan operasi-operasi
militer, dengan tujuan untuk mengembalikan wilayah propinsi Irian Barat ke
dalam wilayah kekuasaan Negara RI.
2. Mengembangkan situasi di wilayah Propinsi Irian Barat:
a.
Sesuai dengan
tarap-tarap perjuangan dibidang diplomasi.
b. Supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di erah-daerwilayah
propinsi Irian Barat dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas/ atau
didudukan unsur kekuasaan/ pemerintahan daerah RI. (Soal Mandala dan irian
Barat, 1963: 360)
Politik keamanan pertahanan Republik
Indonesia berdasarkan Manifesto Politik Republik Indonesia beserta
terperinciannya dan berpangkal kepada kekuatan rakyat dengan bertujuan menjamin
keamanan pertahanan nasional serta turut mengusahakan terselenggaranya perdamaian
dunia. Pertahanan Negara Republik Indonesia bersifat defensiv-aktif dan
bersifat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dan berdasarkan pertahanan
rakyat semesta yang berintikan tentara suka rela dan milisi. (Carmelia
Sukmawati, 2000 : 86-87)
Gerakan
Trikomando Rakyat (TRIKORA) untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan Ibu
Pertiwi saat itu nampaknya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari bangsa
Indonesia. Di sekolah, di kantor, di tempat-tempat umum, topik pembicaran orang
lebih sering kepada soal TRIKORA ini. Emosi masa setiap saat selalu bangkit,
muncul berupa ketidak senangan kepada bangsa Belanda. Apalagi semangat anti
Belanda tidak pernah putus sejak pengambil alihan perusahaan milik Belanda pada
tahun-tahun sebelumnya. Kegandrungan masyarakat ini tentu saja terutama karena
dipicu pidato-pidato Presiden Soekarno.
Sejak
tahun limapuluhan, Bung Karno memang tidak pernah melupakan untuk menyelipkan
soal Irian Barat dalam pidatonya. Dengan perkataan lain telah terjadi etape
politik memusuhi Belanda babak kedua setelah masa Revolusi Perang Kemerdekaan
1945-1949. Itulah suasana gejolak politik 60-an yang terjadi. Dalam suasana
ini, tanpa disadari masyarakat, dua kekuatan politik mulai berebut pengaruh dan
bersaing habis-habisan, yaitu Angkatan Darat dan PKI, sikap Angkatan Darat yang
dipimpin Jenderal A.H. Nasution yang dikenal anti PKI sebagai penyeimbang
supaya Indonesia tetap dalam sistem
politik non blok, karena lebih condongnya Indonesia saat itu ke Uni
Soviet sebagai pusat faham komunis. Persaingan ini baru berahir nanti saat
meletusnya peristiwa G30S pada tahun 1965. Tapi dalam soal TRIKORA, keduanya
melihat kalau kampanye perebutan Irian Barat akan menuai pembangunan kekuatan
politik masing-masing secara nyata.
Bagi
TNI, kampanye untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda adalah kesempatan
terbaik untuk membangun kekuatan militernya. Hal ini sejalan dengan usaha
memancing simpati Rusia sebagi blok Soviet yang sedang perang dingin dengan blok
Amerika. Bantuan hibah atau pinjaman ringan merupakan masa paling mewah bagi
pembangunan kekuatan militer Indonesia saat itu yang secara ekonomi masih dalam
keadaan memprihatinkan.
Pada
masa kampanye pembebasan Irian Barat, sebagian besar belanja negara dicurahkan
untuk pembiayaan militer, sedang untuk ekonomi hanya 25-30 persen, akibatnya
tekanan inflasi mencapai lebih dari 100 persen, sehingga defisit anggaran
belanja Negara yang berjumlah Rp 1,56 milyar tahun 1956, menjadi Rp 16,65
milyar pada tahun 1961 dan diperkirakan Rp 37 milyar tahun 1962. (Salim Said,
2006 : 169)
C. Pengaruh Pembelian Senjata ke Uni
Soviet Terhadap Politik Luar Negeri Indonesia
Akibat
kedekatan Pemerintah Indonesia dengan Uni Soviet yang ditandai dengan pembelian
persenjataan , maka faham komunis pun berkembang pesat di Indonesia dan banyak
mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pada
bulan Juli 1962 anggota BTI (organisasi tani dibawah PKI) berjumlah 5,7 juta
orang, anggota SOBSI (satuan organisasi buruh seluruh indonesia) 3,3 juta orang, Gerwani 1,5 juta orang. Jumlah
anggota PKI yang tercatat pada ahir tahun 1962 telah mencapai lebih dari 2 juta
orang. Jumlah kaum intelek anggota PKI, LEKRA telah mencapai 100.000 orang pada
medio tahun 1963. Semua ini telah menempatkan PKI sebagai partai komunis
terbesar diluar negara komunis. (William H. Frederick, Soeri Soeroto, 2005:
175)
Kedekatan dengan Negara-negara komunis ini dipandang oleh
para elit politik saat itu dan juga para petinggi militer seperti Jenderal A.H.
Nasution dapat melencengkan sistem politik luar negeri Indonesia yang selama
ini menganut sistem politik luar negeri bebas aktif atau non-blok. Maka sikap
pemerintah ini diimbangi oleh militer terutama TNI Angkatan Darat dengan
mengambil sikap bermusuhan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Diplomasi
TNI terhadap kubu-kubu dunia Barat, Washington, Paris, Bonn, London rupanya
tidaklah sia-sia. Kami selalu menjelaskan bahwa soal Irian Barat tidak bisa
lepas dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan TNI tidak akan jadi antek
komunis. Akan tetapi sebaliknya, berlarut-larut sengketa Irian Barat ini
menguntungkan bagi komunis di Indonesia dan di dunia Internasional. (A.H.
Nasution, 1989 :284)
TNI
kami gambarkan sebagai penjamin politik bebas aktif, tidak ke kiri dan tidak ke
kanan. Sikap Negara-negara Barat yang dulu mendukung PRRI/Permesta, sekarang
telah beralih melihat kepada TNI sebagai potensi anti-komunis. Walaupun tidak
pro-Barat, seperti PRRI itu. Sukses kami memulihkan keamanan dan ketertiban
Republik terhadap sekian pemberontakan, tidaklah mereka abaikan. (A.H.
Nasution, 1989 :284)
Kesulitan
yang kami rasakan dalam mengemban diplomasi TNI ini ialah, tokoh-tokoh politik
dan militer di Barat menyimpulkan bahwa Presiden kita telah melepaskan diri
dari kemurnian politik bebas aktif itu dan kini lebih rapat kepada
negara-negara komunis. Politik Nasakom di dalam negeri dan politik kerja sama
dengan blok komunis dalam anti-imperialisme internasional adalah suatu
kenyataan. (A.H. Nasution, 1989 :284)
D. Kekuatan Persenjataan TNI Menjelang
Operasi Trikora
1.
Proses Pembelian
Sesuai dengan keterangan di atas, dalam rangka persiapan Operasi
Trikora tersebut, Indonesia memboyong ratusan unit kendaraan tempur (ranpur)
dari berbagai negara. Namun yang paling
besar dari Uni soviet yang sedang meningkatkan pengaruhnya di Indonesia supaya
merugikan Amerika serikat dan China.
Tahun 1959
Mayjen A. Yani mendapat tugas membeli senjata yang dikenal dengan “Misi Yani”.
Tidak kurang dari 4 bulan lamanya Pak Yani di luar negeri mengunjungi berbagai
Negara di Eropa dan Amerika, dan hasil misi itu sangat memuaskan. Dengan
Amerika serikat misi mengadakan perjanjian membeli senjata ringan. Dengan
Inggris dan jerman Barat mesiu dan truk. Di Perancis Tank. Di Yugoslavia
obat-obatan mesiu, di Swedia senjata berat, di Denmark senjata ringan, di
Cekoslovakia truk, di Italia dan Pakistan mesiu. (Ibu A. Yani, 1981 : 201)
Pada bulan
Desember 1960, Jendral A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya
berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet
senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang.
Setelah pembelian Alutsista tadi, kini angkatan bersenjata mulai membesar,
sejak revolusi mencapai sekitar 300.000 perajurit tahun 1961 dan 330.000
perajurit tahun 1962. (Mc. Rickleft, 2005 : 106 )
Ketika tidak satupun negara
Asia Tenggara yang memiliki pesawat pembom, kita suda punya squadron Elyusin dengan
semua perangkat penunjangnya. Kekuatan udara pesawat tempur AURI tiba-tiba
melompat dari pesawat-pesawat tua kepada pesawat-pasawat canggih dan modern,
seperti Mig 15, 17 dan terahir 21. Tidak lupa untuk pertama kali kita juga
diperkenalkan dengan sistim radar canggih dan peluru kendali dari darat ke udara.
Demikian pula kekuatan laut kita saat itu tidak bisa dibilang kecil. Kita
memiliki sejumlah kapal perang besar, kapal selam, kapal cepat torpedo, penyapu
ranjau, amtrack, tank amfibi dan masih banyak lagi.
Sejumlah perwira tinggi TNI AD yang diketuai Jenderal AH. Nasution,
telah mendapat undangan untuk berkunjung ke Uni Soviet untuk diperkenalkan pada
kekuatan militer Pakta Warsawa. Angkatan Darat dengan kekuatan infantrinya akan
ditunjang oleh kekuatan artileri (meriam) dan kavaleri (kendaraan tempur) tingkat
dunia. Senjata pasukan yang dimiliki mulai dari senjata ringan Kalasnikof (AK-47),
Bren AK, pistol Tokaref, sampai peluncur granat yang belum pernah kita miliki
sebelumnya. Demikian juga telah diadakan pelatihan militer bagi personil ketiga
angkatan di negara-negara blok Soviet dan kunjungan konsultan militer Uni
Soviet juga bagi ketiga angkatan.
Adapun untuk rincian pembelian Alutsista tiap angkatan sebagai
berikut:
a.
TNI Angkatan Darat (AD)
Pada
tahun 1960 TNI AD menerima Alutsista berupa ranpur beroda ban EBR/FL-11 Panhard dan tank
ringan AMX-13 dari Perancis. Di tahun yang sama juga TNI AD kembali menerima
ranpur anyar dari Inggris, yaitu Ferret Mk.2/3, VF 601 Saladin dan VF 602
Saracen. Dari Uni Soviet, TNI AD menerima panser roda BTR 40P, BTR 152P. Belum
lagi ribuan senapan serbu terbaik saat itu dan masih menjadi legendaries sampai
saat ini yaitu, AK-47, Bren AK, pistol Tokaref. (http//www.Pusat
Sejarah TNI AD.com)
b.
TNI Angkatan Laut (ALRI)
TNI
AL menerima Alutsista berupa :
1)
Panser amfibi
angkut personel BTR 50
2)
Panser intai
BRDM
3)
Panser angkut
serba-guna KAPA K-61
4)
Tank amfibi
ringan PT-76
5)
Torpedo
6)
12 kapal selam
kelas Whiskey
7)
Puluhan kapal korvet
8)
Kapal Cepat
9)
Kapal Penyapu
Ranjau
1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai
dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Total, Indonesia mempunyai 104
unit kapal tempur. (http//www.Pusat Sejarah TNI
AL.com)
Kekuatan utama TNI Angkatan Laut di saat Trikora itu adalah salah satu
kapal perang terbesar dan tercepat di dunia buatan Sovyet dari kelas Sverdlov,
yaitu KRI Irian. Kapal ini dapat memuat 1.270 awak
kapal, termasuk 60 orang perwira, 75 perwira pengawas, dan 154 perwira pertama.
KRI Irian adalah kapal penjelajah
kelas Sverdlov dengan kode penamaan Project
68-bis. Kapal jenis ini adalah kapal penjelajah konvensional terakhir yang
dibuat untuk AL Soviet, 13 kapal diselesaikan sebelum Nikita
Khrushchev menghentikan program ini, karena
kapal jenis ini dianggap kuno dengan munculnya rudal (peluru kendali). Kapal ini adalah hasil pengembangan dan
versi yang lebih besar dari kapal penjelajah kelas Chapayev. Kemiripan kapal
penjelajah RI Irian dengan kapal kelas Chapayev adalah pada senjata utama,
permesinan, dan perlidungan bagian samping. Sedangkan perbedaannya terletak
pada kapasitas bahan bakar yang lebih banyak untuk jarak tempuh yang lebih
jauh, lambung yang seluruhnya dilas, proteksi bawah air yang lebih bagus,
artileri anti pesawat yang lebih baik dan radar yang lebih baik pula. Istilah
pemberian nama kapal perang saat itu cukup dengan RI Irian, RI Macan Tutul dll,
sehingga untuk KRI Irian disebut sebagai Kapal Pendjeladjah RI Irian, nomor
lambung 201. (http//www.Pusat Sejarah TNI AL.com)
Adapun spesifikasi dari KRI Irian
sebagai berikut:
Lapisan Baja Pelindung
·
Sabuk
lapis baja utama: 100 mm
·
Buritan:
32 mm
·
Dek:
50 mm
·
Rumah
Dek: 130 mm
·
Tempurung
meriam utama: 175 mm
Peralatan Elektronik
·
Radar:
o Radar Pencari udara Gyus-2
o Radar pencari permukaan laut Ryf
o Radar navigasi Neptun
·
Sonar:
o
Tamir-5N
dipasang di hull
·
Lain-lain:
·
Machta
ECM (electronic Counter Measures). (http//www.Pusat Sejarah TNI AL.com)
Senjata utama dari KRI Irian adalah
4 buah turret/kubah, dimana setiap turret berisi 3 meriam kaliber
6 inchi. Sehingga total ada 12 meriam kaliber 6 inchi di geladaknya.
·
10
tabung torpedo antikapal selam kaliber 533 mm
·
12
buah kanon tipe 57 cal. B-38 kaliber 15.2 cm (6 di depan, 6 di belakang)
·
12
buah kanon ganda tipe 56 cal. Model 1934 6 (twin) SM-5-1 kaliber 10 cm
·
32
buah kanon multi fungsi kaliber 3,7 cm
·
4
buah triple gun Mk5-bis kaliber 20 mm (untuk keperluan antiserangan
udara). (http//www.Pusat Sejarah TNI AL.com)
Uni
Soviet tidak pernah sekalipun memberikan kapal sekuat ini pada bangsa lain
manapun, kecuali Indonesia.( Sebagai gambaran, kapal-kapal terbaru Indonesia
sekarang dari kelas Sigma hanya berbobot 1600 ton). Dengan kekuatan ini,
Angkatan Laut Indonesia menjadi yang terkuat di kawasan bumi bagian selatan.
c.
TNI Angkatan Udara (AURI)
Angkatan
Udara Indonesia juga menjadi salah satu armada udara paling mematikan di dunia,
yang diperkuat oleh lebih dari 100 pesawat tercanggih saat itu. Armada ini
terdiri dari:
1)
41 Helikopter
MI-4 (angkutan ringan)
2)
9 Helikopter MI-6 (angkutan berat)
3)
30 pesawat jet
MiG-15
4)
49 pesawat buru
sergap MiG-17
5)
10 pesawat buru
sergap MiG-19
6)
20 pesawat
pemburu supersonik MiG-21
7)
22 pesawat
pembom ringan Ilyushin Il-28
8)
14 pesawat
pembom jarak jauh TU-16
9)
12 pesawat
TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti
kapal (rudal) air to surface jenis AS-1
10) 26 pesawat angkut ringan
jenis IL-14 dan AQvia-14,
11) 6 pesawat angkut berat jenis
Antonov An-12B buatan Uni Soviet,
dan
12)
10 pesawat
angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.
13)
3 satuan pertahanan udara dengan roket dan
radar. (http//www.Pusat Sejarah TNI
AU.com)
Pesawat MiG-21
Fishbed adalah salahsatu pesawat supersonic tercanggih di dunia, yang telah
mampu terbang dengan kecepatan mencapai Mach 2. (http//www.Pusat Sejarah TNI
AU.com). Pesawat ini bahkan lebih hebat dari pesawat tercanggih Amerika
saat itu, pesawat supersonic F-104 Starfighter dan F-5 Tiger. Sementara Belanda
masih mengandalkan pesawat-pesawat peninggalan Perang Dunia II seperti P-51 Mustang.
Sebagai catatan, kedahsyatan pesawat-pesawat MiG-21 dan MiG-17 di Perang
Vietnam sampai mendorong Amerika mendirikan United States Navy Strike Fighter
Tactics Instructor, pusat latihan pilot-pilot terbaik yang dikenal dengan nama
TOP GUN. TNI Angkatan Udara juga memiliki armada 26 pembom jarak jauh strategis
Tu-16 Tupolev (Badger A dan B). Ini membuat Indonesia menjadi salahsatu dari
hanya 4 bangsa di dunia yang mempunyai pembom strategis, yaitu Amerika, Rusia,
dan Inggris. Pangkalannya terletak di Lapangan Udara Iswahyudi, Surabaya. Bahkan
China dan Australia pun belum memiliki pesawat pembom strategis seperti ini.
Pembom ini juga dilengkapi berbagai peralatan elektronik canggih dan rudal
khusus anti kapal perang AS-1 Kennel, yang daya ledaknya bisa dengan mudah
menenggelamkan kapal-kapal tempur Barat. (http//www.Pusat Sejarah TNI AU.com)
Dari keterangan di atas,
memang sebagian besar peralatan baru itu jatuh ke TNI Angkatan Udara dan Angkatan Laut yaitu angkatan-angkatan yang
dipandang Presiden Soekarno lebih kooperatif dari Angkatan Darat. (M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2005) “Pengalaman perang Trikora yang dapat
menggetarkan itu karena kekuatan laut dan udara kuat”. (Purnomo Yusgiantoro,
Kompas, 2011: 01)
2.
Proses Pengoperasian Persenjataan TNI
Pengoperasian persenjataan yang telah memperkuat pasukan TNI itu
untuk melakukan serangan militer terhadap kekuatan Belanda di Irian Barat
melalui Operasi Trikora yang telah digelorakan oleh Presiden Soekarno. Untuk
melakukan Operasi ini Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan
Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando.
Komando Mandala
memiliki tugas untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi
militer utuk menggabungkan Papua bagian Barat dengan Indonesia. Operasi-operasi
militer yang dilakukan Komando Pembebasan Irian Barat adalah sebagai berikut:
a.
Pertempuran
Laut Aru
Pertempuran laut
Aru adalah pertempuran antara tiga kapal perang Indonesia yang sedang berpatroli
yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul dan KRI Harimau dengan kapal perang
dan pesawat Angkatan Laut Balanda. Pertempuran ini pecah pada tanggal 15
Januari 1962 dan menengelamkan KRI Macan Tutul serta mengugurkan Komodor Yos
Sudarso yang telah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, yaitu “Kobarkan
semangat Pertempuran !”.
b.
Operasi
Penyusupan (Infiltrasi)
Operasi
Penyusupan ini adalah dengan melakukan penerjunan pasukan melalui udara
disekitar titik pertahanan pasukan Belanda di Irian Barat. Panglima Komando
Mandala membentuk Operasi Benteng 1 dan 2, Operasi Garuda, Operasi Serigala,
dan Operasi Naga. Ini merupakan operasi dengan menggunakan pasukan elit yang
terdiri dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), dan Raider Para,
dengan sasaran Sorong, Manokwari, Fak Fak, Kaimanan dan Merauke. (M.C. Riklefs,
1989 : 537)
c.
Operasi
Jayawijaya
Opersi
Jayawijaya merupakan operasi militer yang dirancang sebagai operasi pamungkas
untuk merebut Irian Barat, sehingga operasi Jayawijaya ini menjadi operasi
amfibi gabungan terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Sebagai
gambaran kekuatan operasi ini, berikut adalah pembagian disetiap sektor dalam
operasi Jayawijaya, bagian pertahanan,
terisi dari : Kodam XIII, XIV, XVI, Kodamar V, VI dan korud II, IV dengan
masing-masing pasukan organiknya; 2 resimen Brimob dan Bn 508/ Brawijaya; 2
batalyon artileri medan; 14 bateri artileri sasaran udara dengan 5 stasion
radar; 8 pesawat udara MIG 17 dan 6 pesawat AS-4 Cannet. Bagian penipuan/
pengikat terdiri dari: kurang dari 2000 pasukan gerilya di daratan Irian
Barat, 1 brigade infanteri, detasemen pelopor Brimob dan 3 kompi satuan intel,
2 kapal MTB dan kesatuan kapal cepat torpedo KKTT 16. Bagian
penghubung/penyelidik: 6 pesawat udara Albatros, 6 pasawat udara helicopter
dan 2 pesawat udara Otter. Pengangkutan: 20 pesawat udara Dakota, 6 pasawat
udara Helcules dan 26 kapal LST. Perawatan/logistic: 9 kapal Tanker/salvage dan
3 kapal rumah sakit. Bagian penyerang: 6 kapal selan dari kasatuan kapal
selam KKS 13 dan 6 kapal selam dari kesatuyan kapal selam KKS 15; 20 pesawat
pembom strategis TU 16 dan TU 16 KS, 6 pesawat pembom taktis IL 28, 6 pesawat
Mustang P 51, dan 6 pesawat B 25 dan B 26; 1 kapal komando 2 kapal perusak, 4
kapal MTB, 4 kapal fregat/korvet, 13 kapal buru selam dan 4 kapal penyapu
ranjau; 2 komando divisi dengan unsure bantuan 1 batalyon; 2 brigade para; 1
brigade KKO Pasrat 45 dibantu dengan Bn 509/Brawijaya dan 1 kompi tank; 1
cadangan umum AD. Untuk pertahanan udara, kesatuan-kesatuan tempur (KT) yang
terpencar di pangkalan udara sebagai berikut : KT Parikesit di pangkalan udara
Morotai dengan unsure-unsur 2 pesawat Albatros, 4 pesawat MIG 17, 6 pesawat TU
16 dan 6 pesawat TU 16 KS. KT Antareja di pangkalan udara Amahai dengan
unsur-unsur: 6 pesawat Mustang P 51. 1 pesawat Albatros, 1 pesawat helicopter,
4 MIG 17, 6 pesawat IL 28, 4 pesawat Hercules. KT Aswatama di pangkalan udara
Pattimura/Ambon dengan unsur-unsur: 1 pesawat Albatros, 1 pesawat Helikopter
Mi-4, 2 pesawat MIG 17, 1 pesawat Otter, dan 2 pesawat Hercules.KT Wisanggeni
di pangkala Udara Letfuan dengan unsur-unsur: 4 pesawat B 25/26, 12 pesawat
Dakota, 2 pesawat Albatros, 1 pesawat Helikopter Mi-4, 6 pesawat MIG 17 dan 1
pesawat Otter. KT Wesiaji di pangkalan udara Iswahyudi Madiun dengan
unsur-unsur: 6 pesawat TU 16 dan 6 pesawat TU 16 KS. KT Anggada di pangkalan
udara Halim Perdanakusumah Jakarta dengan unsur-unsur: 4 pasawat Avia, 6
pesawat Dakota, 3 pesawat Hercules, dan cadangan dari Wing Garuda berupa
pesawat-pesawat transpor. Adapun untuk mempersiapkan bidang pertahanan laut :
kesatuan kapal cepat torpedo atau KKTT 16 terdiri 8 kapal cepat torpedo kelas
Rusia, 2 kapal cepat torpedo kelas Yaguar untuk keperluan pengangkuatan bagi
pendaratan (silent landing) dan 2 kapal tender. Kesatuan kapal selam Ampibi
atau ATA 17 yang terdiri dari 60 kapal perang berbagai jenis yang dibagi-nagi
menjadi: gugus tugas markas, gugus tugas bantuan tembaka kapal, gugus tugas
tabor, gugus tugas angkut, gugus tugas awas dan gugus tugas perawatan. Pasukan
pendarat atau Pasrat 45 terdiri dari 8.100 pasukan, termasuk di dalamnya
sebanyak 1.400 pasukan dari ADLA. Kekuatan kita ini diperkirakan 3 kali lebih
besar dari kekuatan yang dimiliki Belanda. (A.H. Nasution, 1989 : 311)
Operasi-operasi itu dibenarkan oleh para
petinggi ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) yang menyingkapkan data-data
historis sekitar perjuangan Irian Barat. Dari data-data itu terpastikan
benarlah pada bulan Agustus 1962, Indonesia sudah berada di tepi jurang
peperangan menghadapi Belanda di Irian Barat. Memang tadinya akan ada invasi
besar-besaran ke Irian barat. Menjelang saat-saat ditandatanganinya persetujuan
antara Indonesia dan Belanda tentang penyerahan Irian Barat, ALRI telah
mengerahkan 120 kapal perang yang tergabung dalam Angkatan Tugas Amfibi 17
(ATA-17) dibawah pimpinan Komodor Laut Sudomo ke garis depan untuk
sewaktu-waktu siap mendarat membebaskan wilayah Irian Barat dari kungkungan
Belanda. Di dalam ATA-17 terdapat
Satuan Pendarat-45 (Saprat-45) dengan kekuatan 10.000 anggota KKO (Marinir) di
bawah pimpinan Kolonel Suwardji, sedangkan pasukan pendarat bantuan berkekuatan
20.000 anggota Angkatan Darat di bawah pimpinan Brigjen Rukman selaku Komandam
Divisi II. ATA-17 dibentuk bulan Juli 1962 dan “setiap waktu” siap menunggu
“lampu hijau” dari Panglima Tertinggi untuk menghancurkan semua kapal musuh
dilautan maupun perlengkapan militer musuh yang ada di daratan Irian Barat.
Brigjen Ali Sadikin menerangkan saat-saat kritis bagi Komando ATA-17 ialah
sekitar tanggal 12 dan 13 Agustus 1962. Harus dikatakan, bahwa keputusan
Presiden membatalkan serangan ATA-17 adalah keputusan yang terbaik, sebab
dengan demikian terhindarlah Indonesia dari kehilangan nyawa putra-putranya. Dengan
tidak terjadinya pecah perang, paling tidak ALRI tetap utuh. Menurut Brigjen Ali Sadikin jumlah kapal perang yang
dimiliki ALRI kira-kira 250 buah atau kalau dihitung dalam tonase sekitar
350.000 ton dengan personalia sekitar 40.000 orang. Sekitar 80-90 persen dari
seluruh perlengkapan ALRI didatangkan dari Uni Soviet. (Salim Said, 2005 : 175)
3.
Pengaruh Kekuatan Persenjataan TNI Terhadap Kesepakatan Perjanjian
dengan Belanda
Indonesia menjadi negara yang sangat kuat ditinjau dari kekuatan
militer di kawasan pada era tahun 60-an, dengan kekuatan senjata yang sebagian
besar didapatkan dari negara-negara blok Timur dalam rangka kepentingan
menghadapi konfrontasi militer dengan Belanda pada perebutan Irian Barat,
maupun saat pelaksanaan operasi Dwikora, karena sikap politik negara pada masa
itu yang menentang dibentuknya Negara Konfederasi Malaya. Mengingat Indonesia
pada masa itu condong ke Timur, sehingga kehadiran kekuatan pro-Barat dianggap
merupakan neokolonialisme. Di luar alasan itu semua, yang terpenting kekuatan
angkatan bersenjata Indonesia pada masa itu tiada tandingannya, sehingga
negara-negara kawasan menjadi berhati- hati dan penuh perhitungan dengan
eksistensi kekuatan militer Indonesia.
Ini semua membuat Indonesia menjadi salah satu kekuatan militer
laut dan udara terkuat di dunia. Dibandingkan dengan Alutsista yang dimiliki
TNI saat ini, sangat patut kita berkaca pada sejarah agar tidak dilecehkan
negara lain akibat Alutsista yang kadaluarsa. (Carmelia Sukmawati, 2000 :
89-90)
Dengan
dimilikinya “Komando Flotila” yaitu kapal-kapal berpeluru kendali dari kapal ke
kapal oleh ALRI, maka Indonesia merupakan negara pertama di belahan bumi
selatan yang memiliki kapal-kapal berpeluru kendali. Indonesia juga adalah
salah satu dari tiga negara Asia selain Jepang dan RRT (China) yang memiliki kapal-kapal
selam berkekuatan perusak yang sangat dahsyat. Indonesia memiliki 20 kapal
selam dan kapal penjelajah raksasa RI “Irian” yang mempunyai 1050 awak kapal
serta bebagai persenjataan modern. (Salim Said, 2005 : 175)
Terciptanya kekompakan berbagai angkatan perang Indonesia dalam
satu komando, senantiasa siap dan sigapnya pasukan TNI dalam menghadapi pihak
Belanda, membuat seluruh operasi militer dapat terlaksana kecuali Operasi
Jayawijaya karena disepakatinya perjanjian dengan pihak Belanda pada tanggal 15
Agustus 1962 yang kemudian pada tanggal 25 Agustus 1962 operasi Jayawijaya
dihentikan. Namun demikian , operasi Jayawijaya telah memperlihatkan kepada
dunia pada umumnya dan pihak Belanda pada khususnya bahwa bangsa Indonesia
memiliki angkatan perang yang besar dengan dibekali peralatan perang yang
canggih dan kuat sehingga siap tempur
kapan saja.
Bagi kepentingan Amerika Serikat, hal ini rupanya bukan main-main.
Melihat pihak militer yang amat tergantung pada blok Soviet. Begitu hebat
efeknya, sehingga memberikan pengaruh terhadap kebijakan Amerika Serikat di
bawah pimpinan Presiden John F. Kennedy yang memaksa Belanda untuk segera
keluar dari Papua, dan menyatakan dalam forum PBB bahwa peralihan kekuasaan di
Papua dari pihak Belanda ke Indonesia adalah sesuatu yang bisa diterima.
Walaupun pada
awalnya Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke
Indonesia karena menurut Bureau of European Affairs di Washington DC
menganggap hal ini akan “menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan
penjajahan oleh kulit coklat”. Tapi pada bulan April 1961, Robert
Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan
bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, Presiden
Amerika Serikat saat itu John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena
iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta
pertolongan pihak komunis Uni Soviet bila tidak mendapat dukungan AS. (Kholid
O. Santosa, 2009:59)
4.
Kolonialisme Belanda di Irian Barat Berakhir
Setelah bangsa Indonesia menempuh berbagai rintangan dan
menyelesaikannya baik secara diplomasi atau perundingan maupun dengan
konfrontasi secara militer yang menguras harta tenaga serta pikiran bahkan
menimbulkan korban jiwa dalam proses pembebasan Irian Barat, dengan rahmat
Tuhan Yang Maha Esa tibalah juga saat-saat yang dinantikan itu.
Tekad yang
begitu besar untuk tidak mundur selangkah pun dan datangnya persenjataan
canggih dari Uni Soviet dan negara lain, ditambah ditariknya dukungan Amerika
terhadap Belanda serta dibarengi gencarnya perang politik di forum
internasional juga tekanan para sukarelawan, akhinya Belanda menyadari bahwa
tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kekuatan nasionalisme. Kesadaran
Belanda itu diwujudkan secara formal dalam suatu perjanjian internasonal yaitu
“Persetujuan New York” (New York Agreement) tanggal 15 Agustus 1962 yang
mengakhiri pendudukan Belanda atas Irian Barat dan dikibarkannya bendera merah
putih di bumi Irian Barat. (Carmelia Sukmawati, 2000 : 85)
Persetujuan New
York merupakan usulan dari utusan Amerika Ellsworth Bunker yaitu mantan Dubes
Amerika untuk India, dia adalah pih ketiga yang menghadiri perundingan rahasia
informal antara Indonesia dan Belanda di Washington. Sekertaris Jendral PBB U.
Thant menyampaikan usulan Bunker tadi pada tanggal 6 April 1962 dan akhirnya di
tandatangani usulan tadi tanggal 15 Agustus 1962. Adapun isi Persetujuan New
York itu adalah :
a)
Selama tahun
pertama Belanda berangsur-angsur akan di tarik dari Irian Barat
b)
Bulan tahun
kedua pemerintah Indonesia berangsur-angsur akan dimasukan dan pegawai
pemerintahan Belanda akan diganti dengan orang Indonesia
c)
Setelah masa
peralihan dua tahun itu pemerintah akan diserahkan langsung kepada Indonesia
Sebuah badan
internasional akan mengawal self-determination bagi penduduk pribumi Irian
Barat, bahkan ketika Indonesia mengambil alih pemerintahan atas daerah tersebut
(Salim Said, 2006 : 136)
Setelah
ditandatangani, ternyata masa peralihan dua tahun seperti yang digariskan dalam
usulan Bunker diperpendek jadi sembilan bulan. Tanggal 1 Oktober 1962
penjajahan Belanda di Irian Barat berakhir, seluruh kekuasaannya diserahkan
kepada badan PBB UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) dan
bendera Merah Putih akan dikibarkan bersama dengan panji-panji PBB. (Salim
Said, 2006 : 173)
Dari pembahasan di atas, keberhasilan perjuangan diplomasi
Indonesia untuk membebaskan bumi Papua yang menghasilkan New York Agreement adalah
dorongan bagi suksesnya perjuangan konfrontasi militer, terutama perjuangan
pembebasan Irian Barat dengan Operasi Trikora dan didatangkannya Alat Utama
Sistem Persenjataan (Alutsista) yang kuat, memberikan dampak yang besar bagi
keberhasilan mengembalikan bumi Irian Barat tetap menjadi bagian Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan
pemaparan dari awal hingga akhir pembahasan skripsi ini, penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penambahan
kakuatan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) militer Indonesia menjelang
terjadinya Operasi Trikora merupakan suatu keharusan dalam menjawab tantangan
atau propokasi pemerintah kerajaan Belanda yang menempatkan kekuatan militernya
di Irian Barat, dan Indonesia sudah tidak memiliki harapan baik lagi kepada
pihak Belanda setelah dengan perjanjian dan diplomasi dalam menyelesaikan
masalah Irian Barat mengalami kegagalan serta merasa perlu menghadapi mereka
dengan kekuatan militer.
2.
Dengan
kekuatan militer yang dilengkapi dengan Alutsista yang besar dan kuat, sehingga
memiliki daya tangkal dan menimbulkan efek penggentar bagi setiap musuh
termasuk Belanda, maka upaya Indonesia dalam mengusir Belanda dari Bumi Irian
Barat akhirnya dapat tercapai.
3.
Dengan
pembelian Alutsista secara besar-besaran kepada Uni Soviet, kekuatan militer
Indonesia pada saat itu menjelma menjadi salah satu kekuatan militer terbesar
di dunia bahkan terbesar di belahan bumi bagian selatan, suatu kekuatan
“raksasa” yang belum pernah dimiliki dan dirasakan militer Indonesia baik
sebelum Operasi Trikora maupun sesudahnya sampai sekarang.
B.
Saran
Berdasarkan dari
kajian penulis , dalam hal ini ada beberapa saran berkenaan dengan wacana
gambaran tulisan ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini mamiliki banyak kekurangan
dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu
penulis memberi saran kepada pembaca agar dalam mencari kebenaran atau
pengetahuan sejarah dalam hal ini mengenai kondisi kekuatan Alat Utama Sistem
Persenjataan (Alutsista) TNI dalam mendukung Operasi Trikora harus didukung
dengan buku-buku sumber sejarah lain yang berkaitan dengan masalah ini.
Kepada pejabat
pemerintahan kiranya skripsi ini bisa dijadikan suatu gambaran, bagaimana
lemahnya kekuatan militer Indonesia saat ini dalam segi kualitas dan kuantitas
Alutsista apabila dibandingkan dengan 40 tahun yang lalu. Maka tidak heran
apabila negara sekelas Malaysia pun berani mempropokasi di perairan/perbatasan
Indonesia.
Mudah-mudahan
tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat dalam rangka
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adang S.
(1985). Operasi Trikora. Jakarta : Rosdakarya.
A. H. Nasution.
(1989). MEMENUHI PANGGILAN TUGAS, jilid 5 : Kenangan Masa Orde Lama.
Jakarta : CV Haji Masagung
Ramadhan KH.
(1994). Soeharto, Ucapan, Tindakan dan Perbuatan. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Rosihan Anwar.
(2006). Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik
1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suharsimi Arikunto.
(2006). PROSEDUR PENELITIAN SUATU PENDEKATAN PRAKTIK. Jakarta : PT
RINEKA CIPTA
Carmelia
Sukmawati. (2000). Lintas Perjuangan Putera Papua. Jakarta : PT
Sakanindo Printama
Delliar Noer.
(1990). Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta : LP3ES
Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan RI. (1997). 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta : PT
Citra Media Persada.
Dinas Sejarah
Militer TNI AD. (1979). Sejarah TNI AD 1945-1973: Peranan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat Menegakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta : Dinas Sejarah TNI AD
Ibu A. Yani.
(1981). AHMAD YANI : Sebuah Kenang-kenangan.
Kapitsa M.S. & Maleti N.P. (2009). Soekarno
Biografi Politik. Bandung : Ultimus
Marwati Djoened
Poesponegoro dan Notosusanto Nugroho. (1993). Sejarah Nasional Indonesia
Jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka.
Ricklefs. Mc.
(2005). Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press
Purnawan
Tjondronegoro. (1980). Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku. Jakarta :
Yayasan Sinar Negara
Pusat Sejarah
dan Tradisi. (1972). Cuplikan SejarahPerjuangan TNI Angkatan Darat.
Bandung-Jakarta : Fa Mahjuma
Pusat Sejarah
dan Tradisi. (1985). 40 Tahun angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Jakarta : Mabes ABRI.
Safi’I Inu
Kencana, Azhari. (2005). Sistem Politik Indonesia. Bandung : PT Refika
Aditama
Satrio. (1986).
Perjuangan dan Pengabdian. Jakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia.
Sekretariat
Negara Republik Indonesia. (1978). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta :
PT Jayakarta Agung Offset.
Suharsimi
Arikunto. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Suharsimi
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Bumi Aksara
Lampiran :
Keterangan : Kapal perang Republik Indonesia Irian merupakan kapal
perang penjelajah terbesar yang pernah dimiliki angkatan laut Indonesia, kapal
ini dibeli dari Uni Soviet sebagai tulang punggung dalam rangka konfrontasi
militer dengan Belanda di tanah Irian Barat.
Sumber :
Keterangan : Salah satu persenjataan berat di geladak KRI Irian
berupa turet ( Kubah meriam.
Sumber :
Keterangan : Pesawat tempur Mig-21 buatan Uni Soviet merupakan
pesawat tempur supersonik paling canggih saat itu yang bisa terbang dengan
kecepatan 2 mach (2 kali kecepatan suara) menjadi tulang punggung TNI Angkatan
Udara pada saat Operasi Trikora.
Sumber : PERTAHANAN INDONESIA, Angkatan
Perang Negara Kepulauan, hal: 173
Keterangan : Pesawat pembom Tu-16, Indonesia menjadi salah satu
dari empat negara di dunia yang mengoperasikan pesawat pembom selain Amerika,
Rusia dan Inggris.
Sumber : PERTAHANAN INDONESIA, Angkatan
Perang Negara Kepulauan, hal: 171
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Moh.
Syarif Hidayat
Umur : 28 Tahun
Tempat/Tanggal
Lahir : Ciamis, 27 September 1983
Agama : Islam
Alamat
Rumah : Kampung
Cipicung Rt 18/Rw 09 Desa Karangsari
Kecamatan Padaherang Kabupaten Ciamis
Telp
/Hp :
085223367074
PENDIDIKAN
1.
1991-1996 : SD Negeri IX
Padaherang (SDN 2 Karangsari)
2.
1996-1999 : SLTP Negeri 2
Padaherang
3.
1999-2005 : PonPes Al-Ihsan Jampes
Kediri Jatim
4.
2005-2007 : Paket C PKBM Al-Hikmah
Padaherang
5.
2007-Sekarang : S1 Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas Siliwangi
Tasikmalaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar